Menyoroti Etika Anak di Iklan Le Minerale dan Abe Cekut

Senin, 5 Mei 2025 13:01 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Cara Menghilangkan Iklan
Iklan

Kreativitas boleh melaju, tetapi tidak boleh menabrak nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Di tengah pesatnya arus informasi dan komunikasi visual, etika menjadi landasan penting dalam menyampaikan pesan kepada publik. Baik dalam bentuk iklan maupun unggahan media sosial, setiap konten yang dipublikasikan memiliki dampak langsung terhadap masyarakat, termasuk kelompok rentan seperti anak-anak.

Dua kasus yang belakangan menjadi sorotan, yaitu iklan billboard Le Minerale dan cyberbullying terhadap balita Dmitriev Abraham alias Abe Cekut, menjadi pengingat bahwa kreativitas tanpa etika dapat melahirkan persoalan serius, baik dari sisi hukum maupun moral.

1. Iklan Le Minerale: Visual Menarik yang Melanggar Etika

Buat Iklan Billboard, Le Minerale Ditegur Karena langgar Etika, Kok Bisa?

Pada pertengahan tahun 2023, Le Minerale merilis iklan billboard di kawasan Gardujati, Bandung, yang menampilkan dua balita sedang memegang galon air bertuliskan “Bebas BPA, jadi aman untuk bayi dan keluarga”. Meskipun tujuannya adalah untuk menonjolkan keamanan produk, visual yang ditampilkan justru menuai kritik dari Badan Pengawas Periklanan (BPP-P3I). Pasalnya, iklan tersebut dinilai tidak etis karena menampilkan anak-anak tanpa pendamping orang dewasa dan menyampaikan klaim keamanan yang belum terbukti secara ilmiah.

Menurut Etika Pariwara Indonesia (EPI), setidaknya terdapat tiga pasal yang dilanggar dalam iklan ini. Pertama, Pasal 17 Ayat (1) yang melarang penampilan anak dalam situasi yang membahayakan atau tanpa pengawasan. Anak-anak di bawah umur yang tampil di iklan harus mendapatkan perlindungan dan konteks yang aman. Dalam billboard ini, dua balita ditampilkan tanpa sosok dewasa, yang dianggap tidak sesuai dengan pedoman etika.

Kedua, Pasal 25 Ayat (1) yang melarang klaim menyesatkan terkait manfaat atau keamanan produk. Klaim "Bebas BPA" memang mengarah pada aspek keamanan, namun tidak serta merta menjamin bahwa produk aman bagi bayi, terlebih jika tidak didukung bukti ilmiah secara terbuka.

Ketiga, Pasal 3 Ayat (1) dan (2) yang menegaskan bahwa iklan harus jujur, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak memanfaatkan kelemahan masyarakat. Dengan menonjolkan anak sebagai alat persuasi tanpa konteks edukatif yang jelas, iklan ini secara tidak langsung mengeksploitasi daya tarik emosional anak-anak demi kepentingan komersial.

2. Cyberbullying terhadap Abe Cekut: Viral yang Berujung Pelecehan
Digital

Pantes Suka Tolak Gift Saat Live TikTok! Ayah Abe Cekut Ternyata Dirut PT  Indo Jaya Translog - Jogja Pos

Sementara itu, di ranah media sosial, muncul kasus viral yang juga melibatkan anak-anak, yakni balita bernama Abe Cekut yang dikenal  lewat video TikTok saat mengucapkan kata “cekut” alih-alih “kecut.”

Awalnya, video ini dianggap menggemaskan dan menghibur. Namun seiring viralnya, muncul pula komentar-komentar negatif, penghinaan, bahkan ejekan fisik yang ditujukan kepada Abe, baik melalui kolom komentar maupun video parodi yang berlebihan. Peristiwa ini menunjukkan betapa mudahnya etika terabaikan ketika konten viral menjadi konsumsi massal.

Dalam konteks ini, publik tidak hanya melanggar norma kesopanan, tetapi juga melakukan tindakan perundungan siber (cyberbullying) terhadap anak yang belum mampu membela diri. Tindakan tersebut dapat berdampak negatif pada perkembangan psikologis anak dan melanggar hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia.

Meskipun konten awal diunggah oleh orang tua, penyebarluasan dan penyuntingan ulang oleh pihak ketiga tanpa izin jelas merupakan bentuk pelanggaran hak anak atas privasi. Ketika anak dijadikan objek viral demi konten dan monetisasi tanpa pertimbangan jangka panjang, maka hal itu tergolong sebagai eksploitasi anak dalam ruang digital.

Persamaan Isu: Minimnya Kesadaran Etika terhadap Anak sebagai
Subjek Publik

Kedua kasus ini memiliki benang merah yang sama, yakni kurangnya
kesadaran akan pentingnya perlindungan anak dalam ruang publik, baik di media konvensional seperti billboard maupun di media digital. Anak-anak bukanlah alat pemasaran, dan bukan pula objek hiburan yang bebas dieksploitasi demi algoritma dan impresi.

Setiap bentuk konten yang menampilkan anak harus didasarkan pada prinsip kehati-hatian, kepatutan, dan tanggung jawab sosial. Penting bagi setiap pihak yang memproduksi konten baik perusahaan, kreator, maupun masyarakat umum untuk memahami bahwa etika bukan sekadar aturan normatif, melainkan pijakan moral dalam membentuk ruang komunikasi yang aman, sehat, dan inklusif. Dalam konteks ini, peran edukasi digital parenting, penguatan regulasi oleh platform media, dan pengawasan dari lembaga seperti BPP-P3I menjadi krusial.

Menjadi Publik yang Bertanggung Jawab

Sebagai konsumen dan pengguna media, kita juga memiliki peran penting
dalam menjaga etika komunikasi publik. Tidak cukup hanya menjadi penikmat konten, kita harus mampu menjadi penyaring yang bijak, kritis terhadap isi pesan, dan peduli terhadap dampak yang ditimbulkan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak. Ketika kita mengklik, membagikan, atau mengomentari sebuah konten, kita turut andil dalam membentuk budaya digital yang lebih baik atau sebaliknya.

Melalui refleksi dari dua kasus ini, semoga kita semua semakin sadar bahwa dalam era digital yang serba cepat, etika tetap harus menjadi kompas utama dalam setiap bentuk komunikasi. Kreativitas boleh melaju, tetapi tidak boleh menabrak nilai-nilai dasar kemanusiaan.

*) Artikel ini adalah tugas dari mata kuliah Kampanye Promosi Multimedia yang diampu oleh Rachma Tri Widuri, S.Sos.,M.Si.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Michelle

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler